Kamis, 19 Februari 2009

AMDAL” Antara Lingkungan Versus Pembangunan”

Seiring dengan Era kemajuan pembangunan di segala bidang, banyak menyisakan bencana kerusakan lingkungan yang mencengangkan bumi pertiwi ini. Seperti halnya dengan polusi dan kerusakan lingkungan di perkotaan dan pedesaan saat ini. Banjir, tanah longsor, erosi, pencemaran air, udara, dan berbagai kerusakan lainnya merupakan satu mata rantai yang dapat meruntuhkan keberlangsungan kehidupan manusia seutuhnya. Perubahan iklim lingkungan tersebut sangat terkait dengan menipisnya kesadaran dan kepedulian terhadap dampak negatif aktifitas manusia dan pembangunan yang semakin meningkat.


Akibatnya, meski telah dilakukan pola penanganan dampak dengan program AMDAL itu hanya sebatas pada dimensi prosedural belaka. Contoh nyatanya dan paling tragis adalah kasus lumpur Lapindo di Surabaya yang sampai saat ini belum tuntas. Tidak adanya keseriusan secara utuh bahwa institusi Negara maupun swasta yang menyelenggarakan pembangunan fisik seharusnya sadar dan penuh tanggung jawab terhadap konsekuensi logis akibat dari keberlanjutan aktifitas ekonomi tersebut. Kondisi ini, saya kira akan menjadi permasalahan serius bagi perwujudan keberhasilan penanganan dampak lingkungan kalau terus dibiarkan.


Indikator dari kondisi tersebut berawal dari kurang jelasnya konsep dan sinergisitas antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan swasta sebagai media pelaksana proyek dalam merumuskan kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan. Di lain hal faktor keikutsertaan seluruh stakeholder dalam proses penanganan dampak negatif maupun positif penyelenggaraan pembangunan tumpuan utamanya adalah masyarakat. Karena wujud dari tujuan pembangunan itu sendiri semata-mata demi kepentingan masyarakat luas.


Selama ini, Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sering dikesampingkan. Imbasnya berujung pada penanganan dampak lingkungan dari sebuah pembangunan infrastruktur, supra struktur. Dimana kepercayaan tingkat elit pemerintah hanya melibatkan kaum pemodal (swasta) mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasannya yang kurang efektif dan tidak efisien. Artinya kesatuan hidup masyarakat dan lingkungannya seharusnya menjadi bagian terpenting subjek dari orientasi pembangunan sama sekali tidak mendapat posisi yang jelas.


Alhasil, dualisme tujuan antara pembangunan yang berwawasan manusia serta lingkungan hidupnya dan pembangunan yang berorientasi fisik dan ekonomi pasar. Ini menyebabkan realisasi penerapan AMDAL pada proyek pembangunan bersifat setengah hati dan tidak berpihak pada masyarakat dan lingkungan. Realitas sosial saat ini, banyaknya program AMDAL pemerintah melalui instansi-instansinya di seluruh Indonesia terkesan tidak sinergis dan koordinatif dengan kondisi riil di lapangan. Apalagi saat ini pemerintah menerbitkan 9.000 dokumen mengenai analisis dampak lingkungan yang mungkin masih dipertanyakan tentang dokumen-dokumen itu, apakah muncul dari hasil identifkasi, observasi maupun elaborasi yang kritis. Malahan makin diragukan tahap implementasinya bisa terealisasi dengan baik. Bias permasalahan mengenai arti dampak sosial pembangunan dapat memperparah kesatuan manusia dan lingkungan hidup sekitarnya. Artinya pembangunan keberlanjutan jangan sampai menistakan dampak sosial, kesehatan, dampak positif, dampak negatif yang secara fisik dan naluriah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan alam Nusantara.


Seharusnya pemerintah tidak ahistoris dan parsial dalam menanggapi permasalahan ini. Sebagaimana diketahui, pelaksanaan AMDAL di Indonesia telah dimulai jauh lebih awal daripada undang-undang dan peraturan pemerintah, terutama dalam hal proyek-proyek pembangunan pemerintah maupun swasta yang menerima bantuan dari badan luar negeri yang mengaitkan pemberian bantuan itu perlu diimbanginya dengan AMDAL yang diberi bantuan untuk proyek tersebut.


Berdasarkan asas manfaatnya, sejatinya AMDAL bukanlah dijadikan buku resep (cook-book) yang dapat digunakan begitu saja secara tidak kritis. Cara penggunaan AMDAL secara prinsip sangat berbeda untuk jenis proyek dan lingkungan yang berbeda-beda pula. Usaha penyeragaman itu merupakan sebuah kelemahan yang sangat serius karena banyak AMDAL mengandung data yang tidak relevan dengan proyek yang sedang diteliti sehingga AMDAL itu tidak banyak berguna. Seharusnya AMDAL disesuaikan dengan jenis proyek pembangunan dan lingkungan yang telah ditelaah, karena jelas tidak ada dua proyek pembangunan dan lingkungan yang mempunyai sifat yang sama. Misalnya tidak ada dua bangunan gedung atau dua ruang bangunan rumah yang mempunyai sifat yang sama. Demikian pula tidak ada dua lingkungan yang identik sama. Masalah lingkungan bendungan di Jakarta juga dan pasti akan berbeda dari masalah lingkungan bendungan di Surabaya atau NTB. Bahkan dua bendungan yang di sungai yang sama, misalnya Bengawan Solo atau di kali Code mempunyai masalah lingkungan yang sangat terbatas. Identifikasi dan Evaluasi dampak lingkungan yang hanya bersifat tidak kritis dan cenderung subjektif membuat masalah lebih kompleks, oleh karena itu pelaksanaan AMDAL haruslah dilakukan secara kritis, baik menggunakan ilmu pengetahuan yang bersifat objektif maupun dengan pertimbangan yang bersifat subjektif kritis namun harus dilakukan secara rasional.


Artinya pemerintah harus serius serta tanggap untuk tidak menghalalkan persoalan kerusakan lingkungan makin kompleks. Solusi riilnya, tentu yang utama dan terpenting adalah kemauan baik pemerintah untuk betul-betul memahami akar persoalan ini dengan sepenuhnya melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Seiring dengan ruang partisipasi yang terbuka lebar maka pemerintah dapat mengeluarkan aturan ataupun regulasi yang tegas untuk menjelaskan pentingnya AMDAL bagi masyarakat dan lingkungannya. Sosialisasi dan publikasi mengenai peran dan fungsi aturan itu dapat terbangun dengan sendirinya. Dalam arti koordinasi, pengawasan serta proses pengkawalan akan terus berlangsung sampai pada tataran implementasinya. Misalnya melibatkan masyarakat, akademisi, swasta, pemerhati lingkungan, LSM, pers, ormas, organ kepemudaan, organ mahasiswa dan BEM, melalui seminar dan lokakarya mengenai kerusakan lingkungan ataupun keutamaan AMDAL. Dengan metode seperti ini, sinergisitas dan koordinasi antara pemerintah dengan seluruh stakeholder lebih-lebih swasta (pengusaha) sebagai kelompok berkepentingan dapat membawa angin segar terciptanya pemahaman, kepedulian, kesadaran bahwa pembangunan haruslah berwawasan lingkungan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pada akhirnya, gerakan bersama bangsa ini dapat mewujudkan proyek pembangunan di seluruh nusantara ini yang ramah dan tidak merugikan masyarakat, hingga secepatnya tercapai kesejahteraan rakyat, flora fauna, dan nilai estetika alam.


Semoga usaha penanggulangan serta penanganan kerusakan lingkungan adalah babak baru peningkatan kualitas hidup alam bagi pembangunan kesejahteraan hidup rakyat Indonesia.

“Caleg Muda, Perjuangan Politik Pemuda Bima Bagi Daerah”

Di era kebablasan demokrasi pra pemilu 2009, merebaknya calon legislatif (caleg) dari kaum muda baik di pusat maupun daerah menandakan peluang perkembangan demokrasi politik di tanah air menunjukan demokrasi ibarat air bah yang tak terbendung lagi arusnya. Demokratisasi yang lebih menekankan peran inisiatif masyarakat terus berlanjut, meski saat ini cenderung salah arah. Bahkan ada yang mengandaikan: demokrasi sekali bergulir, seperti pasta gigi yang sekali pencet keluar, tidak bisa dimasukkan kembali.


Dalam konteks kehidupan demokrasi di tingkat lokal (daerah) yang otentik, suara rakyat ditempatkan pada posisi yang paling agung. Suara rakyat merupakan aspirasi yang dapat diartikan sebagai harapan, tujuan, hasrat, keinginan atau cita-cita yang terakumulasi menjadi kehendak rakyat. Lalu apa, bagaimana dan sanggupkah para Calon Dewan Perwakilan Rakyat dari kaum muda bila nanti terpilih mampu, “membaca, menjawab dan mengelola dan memperjuangkan kehendak rakyat” itu secara benar tanpa distorsi??? Dalam pertanyaan tulisan ini, kiranya tepat ditujukan bagi Caleg-caleg muda se-nusantara maupun di tanah Bima (kota/kabupaten) tercinta.


Sebagaimana diketahui dari sejarah (sebelum 1945), kaum muda ataupun pemuda dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia merupakan aset negara dan bangsa yang berperan penting dalam “menemukan politik” (the invention of politics) perjuangan kesejahteraan rakyat. Lahir dan Berdirinya bangsa ini adalah peranan perjuangan kaum muda dan rakyat se-nusantara yang ingin melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme. Oleh kaum muda Kesadaran rakyat untuk merdeka diformulasikan dalam sebuah ide dan gagasan dalam berbagai bentuk perjuangan. Keyakinan, semangat yang dibekali keberanian untuk tidak berlama-lama rakyatnya dilecehkan, ditindas, dibodohi secara tak manusiawi dan demi harga diri dan kehormatan. Para pemuda di berbagai daerah se-nusantara membentuk sebuah organisasi gerakan atau perkumpulan pemuda (Jong). Kelompok pemuda yang tergabung dalam kelompok gerakan daerah, Jong Sumatera, Jong Java, Jong Celebes, Jong Kalimantan, Jong Ambon, Jong Madura, Jong Sunda Kecil, Jong-jong lain seantero nusantara, mereka memelopori gerakan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan. Api perlawanan yang dikobarkan kelompok-kelompok pemuda/I makin memperkokoh semangat nasionalisme merebut cita-cita kemerdekaan. Muncullah manifesto politik 1925. Dari sini, puncak kesadaran nasional mencapai titik kulminasi ketika para pemuda sepakat untuk mendeklarasikan ikatan persaudaraan, senasib sepenanggungan, berbahasa satu, dan berbangsa satu, Sumpah Pemuda 1928. Lahirnya Sumpah Pemuda 1928 sebagai lambang persatuan dan kesatuan nusantara bagi perjuangan demokrasi bagi rakyat, menjadi titik balik pergerakan pemuda yang semula bersifat kedaerahan, kemudian melebur menjadi gerakan berbasis nasional. Alhasil, revolusi Agustus 1945 pecah, dan bangsa ini secara de jure diakui masyarakat dunia sebagai bangsa merdeka setelah lebih dari ratusan tahun ditindas dan dijajah. Keyakinan dan kepercayaan kaum muda saat itu, hanya dengan kemerdekaan jua lah cita-cita terwujudnya masyarakat adil dan makmur sepenuhnya bisa tercapai. Pertanyaannya kemudian, apakah cita-cita besar membangkitkan kesadaran dan kemajuan daerah maupun nasional serta mewujudkan aspirasi rakyat jelata yang sama (atau bahkan lebih) seperti sebelum kemerdekaan yang ingin dilakukan Caleg-caleg muda ketika terpilih pada pemilu 2009 nanti? Apakah cita-cita dan aspirasi rakyat dapat diwujudkan oleh kaum muda wakil rakyat setelah negara dan bangsa ini bebas dari tangan kaum kolonial Belanda? Atau jangan-jangan hanya akan sama seperti kaum-kaum tua wakil rakyat di DPR-RI Pusat yang dulunya aktifis-aktifis pejuang demokrasi, dan sekarang hanya duduk manis di kursi empuk sambil menunggu proyek-proyek regulasi atau legislasi pesanan sponsor. Masyarakat tentu sangat berharap catatan memori masa lampau sesuai cita-cita UUD 1945 bisa kembali diwujudkan pemuda wakil rakyat terpilih dalam “Pesta Demokrasi” nanti. Bagaimanapun wacana tentang mewujudkan masyarakat adil dan makmur akan terus mempunyai arti penting untuk kembali dihidupkan caleg-caleg muda/i terpilih di tengah menjamurnya wakil rakyat di dewan yang kolutif, korup, hedonis, apatis, oportunis, pragmatis dan ahistoris terhadap realitas sosial yang ada.


Secara pribadi, saya optimis kepada Caleg-caleg muda yang berani maju dan mungkin mampu mengulang sejarah gemilang pemuda di era pra kemerdekaan dan mengukir sejarah baru bagi masyarakat daerah karena beberapa hal. Pertama, meskipun caleg-caleg muda bisa dibilang masih belia dalam tataran dinamika politik lokal, namun ketika melihat semangat muda dan keluhuran ideologi perubahannya saya sangat yakin caleg-caleg muda terpilih nanti bisa mengobarkan spirit perbaikan nasib rakyat dan daerahnya menuju kesadaran kolektif kaum muda yang diawali di Bumi Ngaha Aina Ngoho. Kedua, komitmen para pemudanya yang tidak ingin bergantung pada siapapun (kecuali pada pemuda itu sendiri yang mempunyai kepedulian bersama untuk membenahi negeri ini lebih baik). Mereka mengusung suatu gerakan alternatif dengan memilih berafiliasi dalam partai politik yang meskipun mereka belum matang sebagai kader partai-partai politik pengusung calon. Namun disisi lain paling tidak cara ini, mengutip Teori Michael Foucault, Politik Demagogik yaitu taktik politik secara halus memasuki wilayah politik kekuasaan adalah suatu jalan perjuangan mewujudkan aspirasi rakyat ditengah kegamangan kondisi politik lokal maupun nasional. Ketiga, masifnya dukungan massa rakyat daerah yang percaya pada kualitas pemuda masa kini yang terpelajar, merakyat dan memiliki basic kompetensi intelektual yang meskipun belum teruji. Namun keyakinan dan dukungan itu adalah modal politik, sekaligus bisa diibaratkan amanat suci orang tua kepada anaknya tercinta yang harus diperjuangkan bagi perwujudan kesejahteraan masyarakat daerah. Inilah poin penting sekaligus menjadi peta kekuatan caleg-caleg muda yang harus tetap terjaga ke depannya guna mewujudkan mimpinya melihat masyarakat dan daerah sejahtera dalam arti yang substansial. Bukan sejahtera yang parsial seperti revolusi 17 Agustus 1945, melainkan sejahtera di seluruh sendi kehidupan, tak ada lagi kemiskinan, wong cilik (Dou Madarere) dapat mengenyam pendidikan sama dengan yang lain, tak ada lagi kekerasan dan diskriminasi atas nama ras, agama, trah, turunan bangsawan ataupun tidak, darah biru maupun tidak, anak petani maupun anak pejabat, anak nelayan maupun saudagar, kaya ataupun miskin dan segala perbedaan yang lain. Serta bumi, air, tanah, dan kekayaan alam yang terkandung dalam perut Bima Tercinta (Dana Mbojo) harus kembali dalam pelukan dan bimbingan kita, orang Bima (Dou Mone Mbojo). Cita-cita mulia inilah yang menurut saya mesti ditanamkan kepada seluruh politisi pemuda (Caleg-caleg muda) yang terpilih pada “Pemilu 2009” nanti. Semangat bersatu padu untuk memperjuangkan aspirasi serta kehendak rakyat guna memikul beban negara dan bangsa yang sudah amat berat. Lihat saja, memasuki Satu Abad Kebangkitan Nasional, bangsa kita tak juga beranjak bangkit, tapi justru makin terpuruk. Di level internasional Indonesia dilecehkan bangsa lain, kita dituduh sebagai bangsa peminta-minta, kita dicap sebagai negeri sarang teroris, berbagai kekayaan pulau dan budaya kita dirampas Negeri Jiran, maskapai penerbangan kita dilarang mengudara di langit Eropa karena dianggap tak bermutu, dan berbagai stereotipe negatif lain sudah dialamatkan kepada kita. Di level nasional dan daerah menurut data kemiskinan BPS Juli 2007, propinsi kita menempati posisi kedua termiskin setelah Nusa Tenggara Timur. Busung lapar dimana-mana, Petani dan nelayan yang makin terpuruk karena mahalnya biaya operasional, kerusuhan antar kampung terjadi dimana-mana, dan berbagai situasi dan kondisi daerah yang terpuruk dan sangat menyayat hati. Dalam konteks carut-marutnya daerah dan bangsa, menjadi relevan kiranya dukungan dan terpilihnya kaum muda sebagai wakil rakyat dapat membawa angin segar bagi pertumbuhan demokrasi di tingkat lokal dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat bagi perbaikan nasib daerah. Sekaligus menggerakkan pemuda-pemudi untuk mau tidak mau, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang cita-cita mewujudkan masyarakat adil dan makmur mesti harus dipikul dan diperjuangkan secara bersama dengan berbagai cara yang sehat, jujur, adil, demokratis, menjunjung tinggi nilai agama dan budaya. Buktikan, kalau pemuda Bima (Mone Mbojo) benar-benar adalah agen perubahan dan pelopor kemajuan bagi tanah kelahirannya, dengan semboyan pengorbanan demi perubahan “Ede du Nahu Sura Dou Labo Dana”. bila nanti terpilih mampu, “membaca, menjawab dan mengelola dan memperjuangkan kehendak rakyat” itu secara benar tanpa distorsi???.Akankah ini ditempuh caleg-caleg muda terpilih di tanah Bima (kota/kabupaten) tercinta? Kita tunggu saja. *)